Esok 2 mei, bangsa kita akan merayakan hari pendidikan nasional bertepatan dengan hari lahirnya Ki Hajar Dewantara (2 Mei 1889–28 April 1959; nama asli: Raden Mas Soewardi Soeryaningrat) merupakan seorang seorang pahlawan nasional yang juga merupakan Bapak Pendidikan nasional Indonesia. Beliau pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Namanya juga diabadikan pada nama sebuah kapal perusak kawal berpeluru kendali. Kapal ini juga merupakan kapal perang latih bagi anggota TNI AL dan dinamakan KRI Ki Hajar Dewantara.
Sesosok anak bangsa yang menjadi mascot pendidikan Indonesia, dengan sebuah ajarannya yang sangat termasyur yaitu tut wuri handayani dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan, ing madya mangun karsa di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide, dan ing ngarsa sung tulada di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan baik. Sebuah runtutan kalimat yang memiliki semangat morality dan kemajuan.Namun bagaimana pendidikan Indonesia sekarang ?
Bila kita ingin jujur mengevaluasi pendidikan kita, maka tentu kita akan sangat miris dengan fakta-fakta dilapangan ,Benarkah pendidikan telah kehilangan makna yang sebenarnya? Amat miris jika menjawab yang sesungguhnya.
Dibutuhkan pendekatan sosiologis untuk melihat pendidikan secara jernih. Tapi fakta di lapangan berkata lain. Belakangan ini para orangtua menjerit karena biaya masuk sekolah dan perguruan tinggi terbilang mahal. Tekanan hidup kian terasa, saat hiruk-pikuk politik jauh dari harapan masyarakat. Masyarakat sulit untuk membantah fakta itu. Tampaknya semua itu memberikan penjelasan bahwa pendidikan atas apa yang telah diprediksikan Henry A Giroux tentang keprihatinannya terhadap pendidikan yang memanjakan efisiensi ekonomis dalam praktiknya. Giroux menengarai bahwa dalam dunia pendidikan telah terjadi pengkerdilan makna dan hakikat pendidikan.
Dalam memaknai pendidikan setiap bangsa memiliki pengalamannya sendiri-sendiri. Begitu juga dengan Indonesia. Belum tuntasnya reformasi pendidikan karena belum terbukanya ruang dialog sebagai tindakan komunikasi. Iklim demokrasi sekarang ini malah tidak menjamin membawa pendidikan ke arah yang lebih transformatif. Pembenahan pendidikan baru pada tahap kulit luarnya saja belum kepada sistemnya sebagai kulit yang paling dalam. Melihat sejarah sebelumnya, kebangkrutan bangsa ini berawal dari kegagalan pembangunan yang salah arah dan terjebak pada bujuk rayu globalisasi. Selama 32 tahun lebih masyarakat dininabobokan oleh kebijakan pembangunan (developmentalisme) yang justeru menguras isi perut dan potensi bangsa yang gemah ripah lohjinawi.
Mungkin banyak dari teman, saudara atau rekan kita yang tidak seberuntung kita saat ini. Sekelumit permasalahan pendidikan bangsa ini terus menghadang sepanjang pencarian jati dirinya. Anggaran pendidikan yang hanya berkisar 12,8 % dari APBN masih jauh dari kebutuhan bangsa ini untuk membangun sebuah bangsa yang besar. Dalam benak, mungkin kita bertanya, apakah pemerintah bangsa ini sangat pelit untuk menganggarkan pendidikan yang layak untuk generasi muda? Ataukah pemerintah tidak begitu paham mengenai pentingnya arti pendidikan dalam meregenerasi bangsa ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar