Albert Einstein yang hidup sekurun waktu dengan relativitas Eddington, H.A.Lorenz, dan Willem de Sitter pernah berkata bahwa yang namanya kreatifitas itu muncul dii titik pusat gravitasi kesadaran emosional manusia.
Tentu saja perkataan semacam itu nyaris menggebrak nyali para pengritus ilmu materialisma Barat yang memuja rasio sebagai cikal bakalnya ilmu.
Gebrakan yang membangunkan kesadaran baru itu mengatakan bahwa tenaga rasio yang selama ini terpuja sebagai rohnya ilmu, ternyata Cuma sekedar alat bantu belaka bagi proses pembuktian dan penajaman dari pengertian-pengertian baru yang muncul dari ‘kemampuan intuitif’
Selanjutnya menurut kreator Einstein, kreatifitas ilmiah menjelma berkat kemampuan ‘ekstralogika’ yang nonrasional, seperti juga pendapat seorang fisikawan nuklir Victor F. Weisskof bahwa sains memiliki akar dan asal di luar pikiran yang rasional.
Bagi para ‘kuli’ otak yang bermandi keringat di gurun-gurun ilmu yang kering kerontang nilai, pendapat tersebut begitu mengejutkan, menyambar kesadaran usang bak gledek di siang bolong, kendati sang matematikus Goedel dengan teorema Goedelnya masih lemah lembut menegaskan kembali bahwa sains Cuma mungkin hadir sebagai kerangka keilmuan yang sifatnya malahan ’nonilmiah’ !, Sekilas kedengarannya aneh bin unik, namun sang matematikus yang kesadaran ilmunya semakin jernih itu telah berhasil membuktikan bahwa suatu sistem aksioma mustahil mampu berdiri sendirian. Guna membuktikan kebenarannya, mau tidak mau toh kita memerlukan pengetahuan dari sistem aksioma tersebut.
Perlu disadari benar bahwa setiap kegiatan ilmiah tidak mungkin terhindar dari pelukan pengalaman manusiawi dalam areal yang lebar.
Apa landasan sains yang non ilmiah itu ? Tak lain adalah ’keyakinan’ setiap ilmuwan bahwa kebenaran ilmiah itu ’dipercayai’ sebagai hal yang relevan dan berguna.
Para ilmuwan di seantero jagat ini, yang mengaku dirinya merdeka, dalam artian telah tak rela membeo terhadap dogmatika ilmu yang konvensional, telah mulai sadar bahwa gugus emosional itu sebenarnya berlaku sebagai prakondisi karsa pencarian kebenaran ilmiah itu sendiri. Maka semakin lama semakin terkuaklah bahwa dalam sains sendiri ternyata termaktub aspek emosional dan non rasional sehingga gamblanglah bahwa intuisi dan daya yang irrasional sekalipun memiliki peran yang tak pantas disepelekan begitu saja dalam penelitian ilmu.
Bukankah setiap insan peneliti ilmu manapun akan diliputi rasa haru tatkala dalam benaknya menjelma pengertian baru? Siapa pula orang tak akan beremosi tinggi tatkala menjumpai temuan-temuan baru dalam alam yang penuh teka-teki ini ?
Sebelum Dr. Russel Cannon menemukan galaksi Carina Kerdil lewat teleskop Schmidt-nya yang selalu dipeluknya tatkala langit jernih di malam hari, dirinya senantiasa digeluti semacam kepercayaan bahwa nun jauh disana, di langit luas itu, masih bertebaran benda-benda langit lain yang belum tercatat pada peta astronomi. Dengan dimodali semacam kepercayaan pula maka para pakar ilmu membuat teropong bintang berdiameter 200 inci di Palomar Garden, teropong 236 inci di Pengunungan Caucasus, bahkan teropong langit bercermin ganda 591 inci di Hawaii yang mampu mendobrak tirai langit lebih teliti lagi sehingga galaksi Andromeda berhasil dipetakan dengan mudah
Setelah dorongan kepercayaan yang begitu subjektif menjumpai ”ilmu hisab” bagi kecepatan orbit planet terhadap bintang, maka saat terjadinya gerhana telah bisa ditentukan beberapa puluh tahun sebelumnya oleh manusia bumi, karena manusia bumi sendiri percaya bahwa kecepatan orbit benda-benda angkasa itu tak akan berubah dalam waktu tertentu.
Namun, sialnya dengan adanya ketepatan hisab pada sains, maka para pakar ilmu percaya bahwa ilmu merupakan patokan kebenaran mutlak yang universal sehingga kebenaran Allah sebagai sebab pertama dari adanya ilmu seakan dikesampingkan menjadi nomor kesekian sambil mereka lupa bahwa Allah yang Mahakuasa itu dapat saja mengubah segala sesuatu secara tiba-tiba, yang akan menjelmakan kesimpulan lain dari tabiat alam semesta yang diubah-Nya. Kita tidak tahu, sudah berpa kali kedudukan poros bumi diubah Allah. Kita pun tak tahu, berapa juta galaksi yang telah diledakkan Allah di angkasa raya, yang mengubah tabiat rotasi, yang mengubah tabiat orbit, dari mulai orbit zarah yang paling kecil hingga orbit benda yang paling besar dimana kita sekadar zarahnya yang tak berarti.
Dalam bukunya, Krisis Global Ilmu Pengetahuan, Dr. Hidayat Nataatmadja, yang merasa kecewa dengan gelar Ph.D.-nya yang dirasakan kurang berarti bagi pegangan hidupnya, dengan lugas mengatakan bahwa rsio yang kaprah digembar-gemborkan sebagai pedoman penunjuk arah itu Cuma omong kosong belaka. Sarjana jebolan Universitas Hawaii itu yakin bahwa yang pantas dijadikan pedoman hidup adalah kesadaran spiritual . Kesadaran spiritual yang bukan dalam ungkapan rasional, melainkan kesadaran spiritual yang berakar dalam dunia pengalaman dan rasa. Yang menjadi pedoman ialah rasa, motivasi spiritual, yang mendorong rasio menimbang atau menghitung alternatif-alternatif, dan memilih mana alternatif-alternatif itu yang paling baik. Bukan paling baik menurut rasio, melainkan paling baik menurut dunia rasa. Dan rasio sendiri sekedar salah satu alat timbang. Oleh sebab itu, jelaslah mengapa Bertrand Russel pernah mengatakan bahwa kretifita tidak mungkin diterangkan secara rasional. Dan awal keraguan yang dituding Descartes sebagai pembuka penalaran ilmiah pada dasarnya bermodalkan kepercayaan juga, dalam artian tidak ada kata ragu andai tidak dihantui rasa percaya. Jelas bahwa ilmu pengetahuan itu dimulai dari keyakinan. Mustahil para peneliti ilmu yang tidak meyakini sesuatu yang akan ditelitinya akan berhasil sehingga ia akan berupaya mencari sesuatu itu, sebagai contoh Madame Curie yang mengorbankan waktu tidurnya tatkala meneliti unsur Radium.
Manusia adalah makhluk yang doyan bertanya untuk meningkatkan nilai pengetahuannya. Namun ternyata tidak seluruh masalah yang dipertanyakan oleh manusia dapat dijawab secara memuaskan oleh ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia sebab ilmu pengetahuan milik manusia hanya bagaikan setetes embun bila dibandingkan dengan ilmu yang belum terkuak di Arasy-Nya, yang andai seluruh air lautan dijadikan tinta buat menuliskannya, tak akan cukup guna menyelesaikan menuliskan ilmu-ilmu Allah itu, sesuai dengan Firman-Nya dalam Surah Al-Kahfi :109 yang artinya:
Katakanlah: sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)".
Manusia dilahirkan, tak ayal lagi ditugaskan Tuhan guna membangun, terus membangun, membangun ilmu dan agamanya, membangun prasarana dan sarana fisiknya. Manusia berhak melaksanakan kekhalifahannya dalam kadar iman dan ilmu yang dimilikinya, dan dengan takaran iman dan ilmu yang dimilikinya itu pantaslah manusia untuk merelisasikan rasa syukurnya, mengamalkan iman dan ilmunya itu demi mencapai ridho Allah semata, dalam artian bahwa ilmu yang dikendalikan oleh kelurusan beragama, akan menyehatkan penggunaan ilmu itu sendiri. Sebaliknya, ilmu yang tidak didukung oleh kesadaran spiritual bagaikan bayang-bayang yang tanpa sosok, bagaikan akibat yang lepas dari sebabnya. Malahan tampaknya tidak masuk akal.
Tentu saja perkataan semacam itu nyaris menggebrak nyali para pengritus ilmu materialisma Barat yang memuja rasio sebagai cikal bakalnya ilmu.
Gebrakan yang membangunkan kesadaran baru itu mengatakan bahwa tenaga rasio yang selama ini terpuja sebagai rohnya ilmu, ternyata Cuma sekedar alat bantu belaka bagi proses pembuktian dan penajaman dari pengertian-pengertian baru yang muncul dari ‘kemampuan intuitif’
Selanjutnya menurut kreator Einstein, kreatifitas ilmiah menjelma berkat kemampuan ‘ekstralogika’ yang nonrasional, seperti juga pendapat seorang fisikawan nuklir Victor F. Weisskof bahwa sains memiliki akar dan asal di luar pikiran yang rasional.
Bagi para ‘kuli’ otak yang bermandi keringat di gurun-gurun ilmu yang kering kerontang nilai, pendapat tersebut begitu mengejutkan, menyambar kesadaran usang bak gledek di siang bolong, kendati sang matematikus Goedel dengan teorema Goedelnya masih lemah lembut menegaskan kembali bahwa sains Cuma mungkin hadir sebagai kerangka keilmuan yang sifatnya malahan ’nonilmiah’ !, Sekilas kedengarannya aneh bin unik, namun sang matematikus yang kesadaran ilmunya semakin jernih itu telah berhasil membuktikan bahwa suatu sistem aksioma mustahil mampu berdiri sendirian. Guna membuktikan kebenarannya, mau tidak mau toh kita memerlukan pengetahuan dari sistem aksioma tersebut.
Perlu disadari benar bahwa setiap kegiatan ilmiah tidak mungkin terhindar dari pelukan pengalaman manusiawi dalam areal yang lebar.
Apa landasan sains yang non ilmiah itu ? Tak lain adalah ’keyakinan’ setiap ilmuwan bahwa kebenaran ilmiah itu ’dipercayai’ sebagai hal yang relevan dan berguna.
Para ilmuwan di seantero jagat ini, yang mengaku dirinya merdeka, dalam artian telah tak rela membeo terhadap dogmatika ilmu yang konvensional, telah mulai sadar bahwa gugus emosional itu sebenarnya berlaku sebagai prakondisi karsa pencarian kebenaran ilmiah itu sendiri. Maka semakin lama semakin terkuaklah bahwa dalam sains sendiri ternyata termaktub aspek emosional dan non rasional sehingga gamblanglah bahwa intuisi dan daya yang irrasional sekalipun memiliki peran yang tak pantas disepelekan begitu saja dalam penelitian ilmu.
Bukankah setiap insan peneliti ilmu manapun akan diliputi rasa haru tatkala dalam benaknya menjelma pengertian baru? Siapa pula orang tak akan beremosi tinggi tatkala menjumpai temuan-temuan baru dalam alam yang penuh teka-teki ini ?
Sebelum Dr. Russel Cannon menemukan galaksi Carina Kerdil lewat teleskop Schmidt-nya yang selalu dipeluknya tatkala langit jernih di malam hari, dirinya senantiasa digeluti semacam kepercayaan bahwa nun jauh disana, di langit luas itu, masih bertebaran benda-benda langit lain yang belum tercatat pada peta astronomi. Dengan dimodali semacam kepercayaan pula maka para pakar ilmu membuat teropong bintang berdiameter 200 inci di Palomar Garden, teropong 236 inci di Pengunungan Caucasus, bahkan teropong langit bercermin ganda 591 inci di Hawaii yang mampu mendobrak tirai langit lebih teliti lagi sehingga galaksi Andromeda berhasil dipetakan dengan mudah
Setelah dorongan kepercayaan yang begitu subjektif menjumpai ”ilmu hisab” bagi kecepatan orbit planet terhadap bintang, maka saat terjadinya gerhana telah bisa ditentukan beberapa puluh tahun sebelumnya oleh manusia bumi, karena manusia bumi sendiri percaya bahwa kecepatan orbit benda-benda angkasa itu tak akan berubah dalam waktu tertentu.
Namun, sialnya dengan adanya ketepatan hisab pada sains, maka para pakar ilmu percaya bahwa ilmu merupakan patokan kebenaran mutlak yang universal sehingga kebenaran Allah sebagai sebab pertama dari adanya ilmu seakan dikesampingkan menjadi nomor kesekian sambil mereka lupa bahwa Allah yang Mahakuasa itu dapat saja mengubah segala sesuatu secara tiba-tiba, yang akan menjelmakan kesimpulan lain dari tabiat alam semesta yang diubah-Nya. Kita tidak tahu, sudah berpa kali kedudukan poros bumi diubah Allah. Kita pun tak tahu, berapa juta galaksi yang telah diledakkan Allah di angkasa raya, yang mengubah tabiat rotasi, yang mengubah tabiat orbit, dari mulai orbit zarah yang paling kecil hingga orbit benda yang paling besar dimana kita sekadar zarahnya yang tak berarti.
Dalam bukunya, Krisis Global Ilmu Pengetahuan, Dr. Hidayat Nataatmadja, yang merasa kecewa dengan gelar Ph.D.-nya yang dirasakan kurang berarti bagi pegangan hidupnya, dengan lugas mengatakan bahwa rsio yang kaprah digembar-gemborkan sebagai pedoman penunjuk arah itu Cuma omong kosong belaka. Sarjana jebolan Universitas Hawaii itu yakin bahwa yang pantas dijadikan pedoman hidup adalah kesadaran spiritual . Kesadaran spiritual yang bukan dalam ungkapan rasional, melainkan kesadaran spiritual yang berakar dalam dunia pengalaman dan rasa. Yang menjadi pedoman ialah rasa, motivasi spiritual, yang mendorong rasio menimbang atau menghitung alternatif-alternatif, dan memilih mana alternatif-alternatif itu yang paling baik. Bukan paling baik menurut rasio, melainkan paling baik menurut dunia rasa. Dan rasio sendiri sekedar salah satu alat timbang. Oleh sebab itu, jelaslah mengapa Bertrand Russel pernah mengatakan bahwa kretifita tidak mungkin diterangkan secara rasional. Dan awal keraguan yang dituding Descartes sebagai pembuka penalaran ilmiah pada dasarnya bermodalkan kepercayaan juga, dalam artian tidak ada kata ragu andai tidak dihantui rasa percaya. Jelas bahwa ilmu pengetahuan itu dimulai dari keyakinan. Mustahil para peneliti ilmu yang tidak meyakini sesuatu yang akan ditelitinya akan berhasil sehingga ia akan berupaya mencari sesuatu itu, sebagai contoh Madame Curie yang mengorbankan waktu tidurnya tatkala meneliti unsur Radium.
Manusia adalah makhluk yang doyan bertanya untuk meningkatkan nilai pengetahuannya. Namun ternyata tidak seluruh masalah yang dipertanyakan oleh manusia dapat dijawab secara memuaskan oleh ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia sebab ilmu pengetahuan milik manusia hanya bagaikan setetes embun bila dibandingkan dengan ilmu yang belum terkuak di Arasy-Nya, yang andai seluruh air lautan dijadikan tinta buat menuliskannya, tak akan cukup guna menyelesaikan menuliskan ilmu-ilmu Allah itu, sesuai dengan Firman-Nya dalam Surah Al-Kahfi :109 yang artinya:
Katakanlah: sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)".
Manusia dilahirkan, tak ayal lagi ditugaskan Tuhan guna membangun, terus membangun, membangun ilmu dan agamanya, membangun prasarana dan sarana fisiknya. Manusia berhak melaksanakan kekhalifahannya dalam kadar iman dan ilmu yang dimilikinya, dan dengan takaran iman dan ilmu yang dimilikinya itu pantaslah manusia untuk merelisasikan rasa syukurnya, mengamalkan iman dan ilmunya itu demi mencapai ridho Allah semata, dalam artian bahwa ilmu yang dikendalikan oleh kelurusan beragama, akan menyehatkan penggunaan ilmu itu sendiri. Sebaliknya, ilmu yang tidak didukung oleh kesadaran spiritual bagaikan bayang-bayang yang tanpa sosok, bagaikan akibat yang lepas dari sebabnya. Malahan tampaknya tidak masuk akal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar